Tak peduli. Biar saja mereka mengeroyokmu. Memang pekerjaan gadis centil seperti itu. Merengek meminta kancing kedua dari seragammu untuk kenang-kenang. Katanya yang paling dekat dengan hati. Paling hangat.

Bagiku cuma omong kosong.

Ekspresi suka dengan memberi kancing? Aku lebih suka dengan benda yang berguna. Atau paling tidak diajak makan ke tempat yang mewah hingga kadang membuatmu harus jadi tukang cuci. Atau ditendang keluar.

***

“Kamu terlalu murahan. Gertak saja mereka. Atau remas tubuhnya. Pasti semua menjauh. Sejam lebih aku menunggumu di sini.” Wajahku sudah berkeringat. Riasan luntur.

“Suman(1), tapi aku tidak mau membuat mereka kecewa. Kau tahu sendiri. Aku ini idola sekolah.”

Aku ingin muntah rasanya.

“Mereka hanya ingin kancingku saja tidak lebih.”

“Dia pasti minta lebih. Ah! Terserah!” Tanpa babibu aku meninggalkanmu sendiri. Sebenarnya hari ini kita akan kencan. Semalaman.

***

Satu minggu kamu hilang.

Banyak desas-desus. Katanya kamu suka masuk kelab. Dengan gadis yang pasti bukan aku.

Hari ini aku sudah parkir. Memakai wig yang tak pernah kupakai. Mengamati seisi ruangan kelab. Kali-kali saja kamu muncul. Tapi hingga pagi. Tak ada baumu. Ah, percuma.

***

Dugaanku benar. Gadis itu tidak hanya mau kancing kedua dari seragam. Ya, dia ternyata juga mau membuka kancing celanamu. Selanjutnya tak perlu aku jelaskan. Kan?

Ruangan ini cukup terang.

Aku melihatmu, yang katanya kekasihku, asik menikmati kancing-kancing di dada gadis centil itu. Kalian telanjang. Berkeringat. Aku terangsang melihatnya.

Ah! Sialan! Tapi gemuruh di dada membuatku kalap.

Aku mengambil botol wine di meja. Lalu memukulkan kuat-kuat ke kepala kekasihku, kamu, hingga ambruk. Sebelum kamu banyak komentar.

Sisa pecahan botol, kugunakan untuk mencongkel kancing coklat semu merah di dada gadis itu.

Kurasa ini cukup adil untuk kancing-kancing yang dia ambil dari kamu.

—–
(1) suman : maaf (Jepang, informal)
—–

FF#1
Key word: Kancing

—–

img src: kancinghiaslucudanunik wordpress