Aku ingin menjual batangku. Memangkasnya hingga rapi, seperti saat aku menggunduli jembut di atasnya. Muak! Kutasbihkan ketika melihatnya. Dia selalu membodohiku, menipuku selayak keledai. Padahal dia tak berotak.

Aku ingin menyulapnya menjadi kelamin wanita. Kukira dia lebih anteng. Tidak oleng ke sana kemari. Membuat kegaduhan dan membuang lendir ke mana-mana. Ah! Sungguh aku tak ingin melihatnya. Pembawa bencana.

Sejuta, cash, siapa berminat? Bisa untuk pajangan!

***

Katanya, godaan terberat seorang pria adalah harta, tahta dan wanita. Tahta? Kukira aku terlalu bodoh untuk menduduki suatu jabatan. Kesenanganku bisa raib. Harta? Aku masih menyisakan warisan moyang, ratusan hektar sawit, ladang berlian juga. Wanita? Mustahil. Justru mereka yang tergoda. Bertekuk lutut lalu menarik-narik kakiku. Untung saja tubuhnya tidak anyir. Hingga aku terus bersama mereka. Sampai-sampai lupa cara memakai celana.

Ya, hidup memang begini. Nikmati saja hingga maksimal. Tidak perlu merasa dibudaki oleh dosa. Bagaimana mungkin melewatkan malam seindah ini. Belum tentu besok akan menemuinya lagi. Bisa jadi aku sudah membusuk. Tidak ada yang tahu besok. Kamu? Dia? Presiden saja tidak bisa meramal kapan dia lengser. So, just dance with hip-hop music, yeah!

Aku meliuk di bawah gemintang lampu.

Gadis itu mengedip ke arahku. Aku diam sesaat lalu duduk di kursi bar. “Sendirian saja Bang? Boleh aku temani?” dia langsung duduk di sebelahku. Mengapit lenganku. Aku biarkan saja. Biasanya mereka kesepian, nyari gratisan.

“Tentu saja sendiri, apa aku terlihat datang dengan istriku?” kulirik mukanya cemberut. Sejurus kemudian aku kecup keningnya.

Gadis itu sumringah. Senyumnya penuh. “Tahu tidak Bang?” Aku menggeleng lalu menatapnya lekat. “Di antara mereka semua hanya aku yang masih perawan.” Kunaikkan satu alisku. Sangsi dengan pernyataannya.

“Kalau kau perawan kenapa main ke sini? Lebih baik banyak-banyak doa menunggu dilamar orang.” Aku mulai bangkit dan hendak bergabung dengan deretan liuk erotis di tengah sana.

“Abang saja yang lamar aku!”

“Aku nggak akan nikah kalau belum puas dengan hidup ini. Tunggu saja kalau mau.” Aku berlalu dari depannya. Perawan tua!

***

Pemuda itu nyelonong saja masuk ke dalam kamarku. Begitu tahu aku telanjang dan memamerkan batangku, dia melempar sebuah novel tebal ke arah perutku. Tatapannya dingin. Dia satu-satunya orang paling menakutkan dalam hidupku: si bungsu.

“Mas, lebih baik kau hidup di hutan. Kelakuanmu sudah mirip manusia purba.” Aku cuma tersenyum kecil dan menyambar celana training di sampingku.

“Yang lebih manis sama kakaknya!”

“Lebih baik aku sebatang kara daripada punya kakak sepertimu.”

Si bungsu mengambil sebuah amplop warna putih dari tas. Lalu melemparnya ke arahku. Kali ini mukaku terkena timpukan.

“Sudahlah Mas. Jangan terus seperti ini.” Aku masih menatapnya datar. Tanganku sibuk membuka dan membaca surat yang dia berikan.

Jatungku teremas membaca isinya.

Huft! Adikku memang malaikat maut!

“Temui ayah. Ingat keadanmu sekarang.”

Bagaimana mungkin aku menemui dia. Manusia yang sudah membuangku. Melecehkan ibuku hingga dia mati akibat tekanan batin yang bertubi-tubi. Aku bahkan merasa lebih baik dimatikan saja. Ambil kembali sperma yang menjadikanku hidup.

Ibu! Apa aku boleh menemui pria itu? Padahal dia lebih memilih pergi dengan sopirnya yang tampan.

Lebih baik aku mati perlahan-lahan tanpa harus dia tahu. Bisa-bisa dia tertawa terbahak-bahak. Cekikikan. Atau dengan lantang mengujar ‘Jadi anak kudu nurut, darma bakti kepada ayah dan ibunya, apapun yang terjadi. Tuh kualat!’. Apapun yang terjadi, aku lebih baik membusuk sendiri. Daripada harus melihatnya. Menyembah. Terlebih menyentuhnya.

“Apa kekasih ayah masih tinggal dengannya?”

Si bungsu mengangguk lemas. Lalu menatapku lagi dengan sangat tajam. “Pulanglah sekali saja. Mereka tidak akan menjahatimu.” Aku meremas selembar kertas penuh analisa dan simbol plus.

“Ibu jadi korban. Apa itu belum cukup?”

“Aku dengar jika Ibu yang membiarkan mereka menyatu. Karena Ibu hanya singgah saja di hidup ayah. Selebihnya, mereka saling menyukai. Bahkan ibu yang berada di antara mereka. Bukan pria itu.” Nafasku terasa sangat berat.

“Pasti dua orang itu mengarang cerita!”

“Ibu yang mengatakannya kepadaku. Sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya. Apa Mas tahu? Setiap hari pria itu yang menjaga ibu, membawanya berobat ke sana ke mari.” Si bungsu menghembuskan nafasnya yang berat.

“Dia sopir! Itu pekerjaannya! Dia hanya berada di antara ibu dan ayah!”

“Ibulah yang ada di antara mereka selama dua puluh tahun.”

Mendadak kepalaku pusing. Aku ingin menghilang saja dari dunia ini. Atau mencapai moksaku agar tidak dihinggapi kebutuhan dan masalah duniawi.

***

Tiga foto paling hot kupasang pada salah satu forum seminggu lalu. ‘Dijual batang ori kemampuan prima dengan harga murah. Sejuta saja sudah dapat full service dan memiliki selamanya. Minat? PM.’ Ada puluhan pesan masuk. Beberapa kali ikut proyek orgy party ternyata aku cukup dikenal.

Hanya ada dua orang yang membuatku penasaran. Sisanya hanya sampah. ‘Aku booking seminggu gimana? Stay di mana?’ atau ‘Gue lagi butuh nih, call me! TB/BB?. Aku hanya ingin menjual kelaminku. Memotongnya dengan pisau, hingga putus. Tidak memakainya!

Hari ini aku memutuskan akan menemui mereka; calon pembeli. Ada satu hal yang membuatku tergelitik. Salah satu darinya mengirim pesan lucu kepadaku. ‘Jika punyamu lebih unyu dari punya suamiku, aku tebus tunai. Aku harap kamu tidak datang ke rumahku.’ Di akhir kalimat dia mencantumkan alamat lengkap.

Mobilku meluncur pada deretan ruko pusat kota. Aku harus menemukan orang ini. Sembarangan saja membandingkan punyaku dengan suaminya. Jelas kalah suaminya. Aku yang akan menang. Kuparkir mobilku di depan ruko obat herbal. Seorang wanita paruh baya menyambutku.

“Kukira kamu tidak datang. Ternyata kamu pemberani juga ya, Anak Muda.” Aku berjalan santai ke arahnya. Wanita itu menarik kursi untuk tempatku duduk.

“Terima kasih. So? Apa kamu ingin membeli kelaminku?” Aku meremas selangkangan dan menatapnya tajam.

Wanita itu tertawa dengan puas. Padahal tidak ada yang lucu dalam dalam setiap kataku yang terlontar. Beberapa kali dia sampai terbatuk-batuk. Lalu meludah pada tisu. Wanita itu menatapku lagi.

“Apa batangmu bisa membuatku jatuh cinta?” Aku tersenyum indah menatapnya. “Ah! Maksudku bukan cuma membuatku mengerang hingga muka merah berkeringat. Tapi benar-benar jatuh cinta dan tidak akan meninggalkanmu bahkan saat kamu mati dan batangmu tak berfungsi.” Aku masih tidak paham atas apa yang dia katakan.

“Tidak ada wanita yang akan menolakku. Itu faktanya.” Kubusungkan dada pongah sambil memasang senyum dipaksakan.

“Aku menolakmu!”

Aku membulatkan bola mata. Memandang wanita itu keji. Mau dia menolakku atau menerimaku, toh aku tidak akan menyetubuhinya. Siapa yang mau dengan wanita keriput beruban banyak.

“Jadi, kamu mau memotong kelaminku untuk pajangan atau tidak?”

Dia menggeleng mantap.

“Aku pilih kelamin kuda untuk pajangan, bahkan bisa aku awetkan dan laku airnya buat obat kuat.” Lalu wanita itu tertawa. Terus tertawa hingga aku muak.

Tangan aku angkat dan beranjak dari hadapannya. Aku segera pergi dan melaju dengan mobil. Sempat aku dengar dia berteriak. ‘Kamu terlalu muda untuk menjual kelaminmu! Sembunyi saja di bawah meja!’. Lalu aku membunyikan klakson keras-keras. Meninggalkan rukonya.

Hari masih setengah siang. Tapi terasa matahari sudah menduduki zenitnya ketika mobilku masuk pada gang kecil agak kumuh. Mencari orang terakhir yang akan membunuhku. Memotong kelaminku untuk selamanya. Ada kata-katanya yang membuatku penasaran. ‘Apa kelaminmu bisa membuat ibu-ibu PKK pemalas untuk datang ke rumahku mengikuti pelatihan wirausaha?’. Bukankah itu penghinaan?

Aku hentikan mobil pada sebuah rumah kecil dengan halaman penuh bunga. Seperti rumah seorang pedagang tanaman hias. Seorang wanita terlihat asik memberi pelatihan kepada beberapa ibu. Memperagakan cara menjahit.

“Selamat siang. Apa bisa bertemu dengan Dina?” semua mata menatapku aneh. Wanita yang menjahit itu menoleh. Ah tidak, dia seorang pria. Aku bingung sendiri menyebut dia sebagai apa.

“Saya sendiri.” Suaranya berat. Aku bisa melihat jakunnya naik turun. Aku menelan ludahku sendiri melihatnya. “Tunggu di dalam ya, setengah jam lagi selesai.” Aku mengangguk menurut.

Ruang tamu terlihat rapi. Banyak barang kerajinan di atas meja. Ada foto dia menggenakan kebaya dengan dikerumuni puluhan pria. Mataku masih saja tak puas untuk mengamati benda-benda di ruangan ini. Aku masih menunggu hingga terasa ngantuk hingga ingin tidur.

“Lama menunggu?” suaranya membuyarkan kantuk.

Aku menggeleng dengan senyum kecil. Sebenarnya aku takut menatap orang di depanku. Bukan karena dia pria atau wanita atau keduanya. Tapi matanya tajam dan seakan menghunusku.

“Jadi mana benda yang akan kamu jual?”

Aku menunjuk celanaku. Dia tersenyum kecil lalu duduk di hadapanku.

“Cuma sejuta saja kamu mau jual?”

“Iya, kalau kamu mau beli cepat potong sekarang juga. Aku sudah muak dengan benda ini.” Dia tertawa puas. Aku semakin ketakutan.

“Kenapa kamu ingin memotongnya? Aku sudah pernah dipotong batangku hingga habis. Rasanya sakit sekali. Seperti ujung batangmu ditetesi air mendidih.” Aku memasang senyum kecut. Kenapa manusia ini malah menakutiku.

“Cepat potong kalau mau!” Aku sudah tidak tahan lagi.

“Tapi tidak sesakit untuk menjadi diri sendiri sepertiku. Kelamin cuma bentuk tubuh. Kalau tak berguna hilangkan saja. Aku rasa pria atu wanita sama. Manusia lahir itu sejatinya untuk menjadi pria atau wanita. Bukan sejak lahir dilabeli P atau L dengan gelang biru atau pink.” Manusia ini terus saja ngedumel.

Aku semakin geram. Segera aku rogoh pisau lipat dari saku belakangku. Kulemparkan ke arahnya. Dia tersenyum kecil lalu membuka pisaunya. Mendorongku hingga masuk ke dalam kamarnya. Celanaku lolos hingga polos. Aku merasa ada benda sedingin logam menyentuh kelaminku. Batangku kian ciut. Dia mulai menggesek. Aku ingin menjerit.

“Penakut! Sana pulang saja.” Ada kelegaan di dalam dadaku. “Aku tidak tahu apa masalahmu. Lebih baik bicarakan dengan keluargamu. Ayah atau Ibu, mungkin bisa membantumu untuk sekedar meringankan beban.” Dia menaikkan celanaku lagi. Aku roboh di lantai.

“Ibuku sudah wafat.”

“Ceritakan kepada ayahmu.”

“Ayahku sudah mati!!!”

Dadaku terasa sakit menyebut kata ayah.

***

Tubuhku terasa lemas. Aku seperti mayat hidup.

Kuputuskan untuk tidak makan beberapa hari ini. Mengurung diri di kamar dengan gelap terasa menghimpit, mencabit dan memakanku utuh. Lidahku sudah kelu. Mataku terasa ingin dicongkel. Jantungku berdetak sangat cepat, seperti terburu-buru.

Tidak ada lagi yang aku inginkan sekarang. Tubuh lemas penyakitan, tidak ada lagi wanita yang mendekatiku. Aku terisolir. Seperti berada di pulau kecil tengah segara sendirian saja. Kapan aku mati?

Aku sebar Antiretroviral[1] di lantai. Muak harus menelannya setiap hari.

Pisau lipat di meja terlihat mengkilap, memantulkan berkas sinar yang masuk dari celah genting. Melambai-lambai. Aku belum mampu menjual batangku hingga putus bertahun ini. Akan aku jual untuk diriku sendiri.

Dengan lemas aku berjalan menuju meja. Mengambil dan membuka pisau. Menyabitkan ke kertas di depanku hingga tercabik. Setelah itu aku turunkan celanaku. Kuelus batangku. Akan aku potong saat ini juga.

“ARGHHH!”

Semua selesai.

Darah mengalir dari batangku.

Ke tanganku.

Daging tebal jatuh ke lantai.

Lalu pandanganku buram.

Gelap.

***

Aku melihat wanita itu tersenyum. Menggembungkan pipinya lalu mendekatiku. Perasaanku terasa hangat. Aku bahagia begitu saja. Aku peluk dia sangat erat. Tidak akan pernah aku lepaskan.

Ibu!

Mataku terbuka. Tapi ini bukan neraka. Apa aku belum mati. Kenapa semuanya serba putih. Ibu! Aku ada di mana? Kenapa Ibu menghilang? Ibu!

“Kamu sudah sadar . Syukurlah. Sayang, anakmu sudah sadar!”

Tanganku terasa hangat dia pegang. Sangat erat.

Ayah segera melonjak dari kursi. Wajahnya terlihat lelah, pucat dengan lingkar hitam di bawah matanya. Aku tak bisa melepaskan hangat di tangan. Aku masih terlalu lemah.

“Untung Padmo memberikan sebagian darahnya ke tubuhmu. Kau bisa lepas dari pendarahan. Dan sekarat!” Nada suara ayah keras. Aku takut dan ingin menangis.

“Sudah, biarkan anakmu istirahat.”

Batinku terasa tersayat. Ada darah biadab di tubuhku. Aku ingin mati. Keluarkan darahnya dari tubuhku.

“Keparat! Bunuh saja aku! Daripada hidup dengan darahmu!”

Aku melihat kekasih ayahku bergetar. Menangis. Ah tidak, aku melihat ibu menangis di hadapanku.[*]

.

————————–

[1] Obat yang dikonsumsi orang pengidap HIV.

***

Salam Karya!