“Benarkah dia melakukan itu?”

“Benarkah ia pembunuh Ibumu!”

***

Jam masih menunjukkan pukul 8 malam. Gerimis sisa hujan tadi sore masih terlihat mendebu. Laron-laron terbang berarak memutari lampu jalanan. Sebelum akhirnya jatuh dan mati terlindas roda motor.

Dalam ruangan yang gelap Bayu terdiam memandang kosong keluar jendela. Pikirannya kalut bercampur takut. Tubuhnya seakan lemas tak bernyawa. Gairah hidup sirna bersama cerita yang tak akan pernah ia duga.

Denting keras detik jam analog terdengar sendu. Bergerak seirama detak jantungnya. Masihkah hidup ini perlu dilanjutkan?

***

Di sebuah gubuk beratap runcing Bayu terlihat gusar. Matanya terlihat merah berkaca. Mulutnya terlihat kaku dan membiru. Beku tak bisa digerakkan. Pita suaranya seakan tertali tak kuasa mengeluarkan sepatah kata.

“Bay, masihkah semua ini harus dilanjutkan setelah fakta ini terungkap?” tanya gadis mungil bermata sembab di depannya.

“Naf, be…benarkah itu? A..apa kau tak salah dengar?” jawab Bayu lirih.

“Akupun juga tak percaya, tapi inilah kenyataan. Aku takut jikalau masih berlanjut aku kan jadi membencimu” tanggap Nafa terlihat bingung dan terus menangis.

“Benarkah? Jikalau ayahku yang membuat ibumu mati?” tanya Bayu memastikan keadaan teraneh sepanjang hidupnya.

“Iya! Ayahmu!”

***

“Maafkan aku, jangan kau benci aku karena masalah itu!” kata Bayu dalam telepon.

“Aku tak bisa, kenyataan ini terlalu berat. Kalaupun orang lain tak apa, tapi kenapa kau mesti jadi anak orang itu. Orang tak tahu malu yang membuat ibuku…..” seru Nafa histeris.

“Maafkan aku!”

*tuutt tutt*

***

Keadaan berubah drastis. Semua berlangsung begitu saja tanpa ada kepastian yang jelas. Nafa menjauhi Bayu.

Hubungan 5 tahun yang terbina sempurna, seketika menggantung tak jelas. Hubungan yang akan dibawa ke pelaminan, langsung goyah.

“Jangan kau datangi aku, setiap melihatmu aku seakan melihatnya. Jangan membuatku tersiksa. Jangan membuatku makin membencimu” jelas Nafa ketika Bayu terus mengejarnya.

“Biarlah seperti ini saja, biarkan sayangku kepadamu mengendap di dasar hatiku. Tolong jangan temui aku lagi. Bisa kan?” jelas Nafa dengan raut muka datar.

***

“Apa yang harus ku lakukan?” gumam Bayu sambil merebahkan badannya di atas rumput.

Bayu memandang lepas ke angkasa. Tangan kirinya memegang sebotol minuman keras. Tangan kanannya memgang sebilah pisau.

Stress melandanya.

Ia masih tak menduga jika ayah yang selama ini di hormatinya begitu kelam dimasa lalu. Dia pemerkosa! Dia pembunuh!

“Aku anak kriminal” desisnya pelan.

“Siapa yang harus mati sekarang? Agar semuanya segera berakhir!” teriaknya keras-keras.

***

“Katakan! Kenapa kau melakukan itu kepadanya! Jelaskan kepadaku semuanya!” teriak Bayu di depan ayahnya yang duduk di kursi roda.

Setahun yang lalu ayahnya terkena stroke. Kakinya lumpuh dan tak mampu berjalan dan bicara lagi.

“Katakan kalau kau tak melakukan itu! Katakan kalau kau tak memperkosa Ibunya hingga dia hamil dan bunuh diri, katakan!” teriak Bayu histeris.

Ayah Bayu hanya diam. Lemas. Berlinang air mata.

***

Bayu mendorong kursi dorong ayahnya dengan cepat. Menuju gang sempit yang gelap. Bersamaan dengan hujan yang turun begitu deras.

Bayu membawa ayahnya kesebuah rumah kecil tanpa teras.

“Assalamualaikum” teriak Bayu sambil mengetuk pintu itu.

“Naf, buka pintunya Naf” teriak Bayu bersaing dengan bunyi rintik hujan mengenai tanah.

Selang 5 menit pintu terbuka. Gadis berkerudung keluar dengan mata bersimbah air mata.

“Kau? buat apa kesini. Pulanglah aku tidak ingin bertemu denganmu” kata Nafa sedikit meninggikan nada bicaranya.

“Naf tunggu Naf, aku kesini mau menyelesaikan semua ini” sahut Bayu cepat.

“Sudahlah, pulang saja sana. Kasihan Ayahmu kehujanan, nanti dia sakit” kata Nafa langsung menutup pintunya lagi.

“Tunggu” teriak Bayu mendorong pintu hingga terbuka lagi.

“Ini harus diselesaikan, aku tak mau hubungan kita terganggu dengan masalah ini” kata Bayu dan menyerahkan pisau ke tangan Nafa.

“Apa maksudnya ini?” kata Nafa menolak.

“Bukannya nyawa harus dibayar nyawa. Pilih saja, aku atau ayahku yang akan menebus dan menukar nyawa ibumu” ucap Bayu sedikit gemetar.

“Kau ini gila, jangan berbuat yang aneh. Ini tak akan menyelesaikan masalah” desis Nafa.

“Tapi masalah antara kita juga tak akan kunjung selesai. Aku sayang kamu Naf. Makanya akan aku lakukan apapun. Termasuk menukar nyawa” seru Bayu semakin blingasan.

“Aku tak mau mengotori tanganku, aku tak mau kesedihan terus membayangi. Tapi baiklah agar kau puas! Bunuh ayahmu dengan tanganmu sendiri!” teriak Nafa sambil menangis.

Ayah Bayu cuma diam dan terus menangis. Dipandang anaknya dengan tatapan kelu. Lelehan air matanta tak jua urung berhenti.

“Ayo! Kalau kau ingin melakukannya, bunuh dia sekarang!” teriak Nafa terus menangis.

***

“Bayu, jika nanti besar ingin jadi apa?” tanya Ayahnya sambil memanggul Bayu.

“Aku ingin jadi orang hebat!” teriak Bayu semangat sambil mengangkat tangannya!

“Wah hebat seperti apa tu nak?” tanya Ayahnya lagi.

“Seperti Ayah!”

“Kok bisa seperti Ayah?” tanya Ayah Bayu sambil menurunkannya ke kasur.

“Karena Ayah sayang keluarga, aku pengen jadi seperti ayah yang hebat. Ayah adalah pahlawanku!” serunya sambil mencium pipi ayahnya.

“Ayah pahlawanku”

***

Tubuh Bayu gemetar.

Langkahnya tertahan sejengkal sebelum menikamkan pisau ke dada ayahnya. Tubuhnya ambruk bersimpuh di kaki ayahnya dan menangis.

“Aku tak bisa, aku tak bisa melakukan ini ke dia” tangisnya pecah memenuhi rumah kecil itu.

Setetes air mata mengenai pipinya. Ayahnya menangis tertunduk melihanya. Dalam diam. Akan terus diam.

“Lihat kan? Kau saja tak sanggup, bagaimana denganku? Walaupun dia telah berbuat buruk dahulunya. Tapi lihatlah sekarang. Beliau tak bisa apa-apa” seru Nafa dengan tenang.

“Aku tak bisa Naf, maafkan aku. Aku memang tak bisa melindungimu” sahut Bayu.

“Ini bukan masalah melindungi atau tidak. Bukan masalah berkorban atau tidak. Tapi ini masalah hidup dan mati. Hanya yang maha pencipta yang mampu mengakhiri nyawa” jelas Nafa mendekati Bayu.

“Jika kau membunuh ayahmu sendiri berarti kau tak lebih parah dari anjing jalanan yang akan membunuh apa saja asal bisa di mangsa. Sama denganmu, melakukan apa saja asal bisa denganku. Termasuk mengorbankan ayahmu sendiri” sambung Nafa.

“Dia itu satu-satunya keluargamu, kau tak lihat aku sendirian? Hidup sendirian itu sangat susah” Nafa mengakhiri kalimatnya dengan bernafas panjang.

“Tapi Naf, aku benar-benar takut kehilanganmu” Bayu bangkit dan berjalan ke arah Nafa.

“Tolong biarkan aku sendiri dulu, aku ingin menenangkan hatiku. Aku tak ingin mengotori sayangku kepadamu dengan kejadian masa lalu” Nafa berjalan menuju ayah Bayu. Dia memegang tanganya dan dicium.

“Kau tak boleh menyia-nyiakan beliau, kau harus menghormatinya, jangan hanya masalah ini kau jadi rapuh dan berbuat tak adil kepadanya” Nafa tersenyum simpul sambil terus memegang tangan Ayah Bayu.

“Aku akan Ikhlas dengan hal ini. Ibu akan tenang disana, dendam dan segalanya hanya duniawi semata. Aku menjauhimu bukannya aku benci kamu. Memang aku pernah berkata begitu. Aku hanya ingin menyendiri dulu, sebelum menerima ini dengan ikhlas” Jelas Nafa panjang lebar.

“Naf tolong maafkan Ayahku” kata Bayu pelan.

“Yang maha pencipta saja pemurah hati mau memaafkan, kenapa aku tidak?” balas Nafa dengan menghela nafas panjang.

***

“Zaki kalau sudah besar ingin jadi apa?” tanya Bayu sambil menggandeng anaknya ke taman.

“Aku ingin jadi orang hebat seperti ayah!” sahutnya bersemangat.

“Kenapa harus Ayah?” tanya Bayu lagi.

“Karena ayah sayang dengan Ibu. Ayah sayang keluarga. Ayah sayang kakek juga” jawab Zaki sambil berlari.

“Ayah Pahlawanku” teriak Zaki sambil tersenyum.

“Ayah Pahlawanku!”

Recent Posts :