Tangis Rindang terus mengurai di pipinya yang merona. Isaknya menggema merdu di dinding kamar yang gelap. Hatinya kini sudah habis teriris oleh Denova. Bersisa guratan luka yang kian lama kian sakit.

Kesedihan yang berlarut ini disadarinya tiada guna. Hati manusia memang tidak dipaksakan. Memang kenyataan pahit selalu membekas. Tapi kenangan akan selalu terpatri indah dan tidak akan mudah terhapus.

Rindang bangkit, dihapusnya lelehan air mata yang terasa mengering dan membuat mukanya kaku. Diraihnya ponsel di atas meja. Ditekan beberapa tombol dan ia mulai menelpon.

“Kak, bolehkah jika nanti kita bertemu. Aku ingin bicara sebentar saja dengan kakak” kata Rindang singkat.

“Baiklah Ndang, nanti aku jemput kamu ya” kata suara di telepon.

“Terimakasih kak” jawab Rindang langsung memutus sambungan telepon.

****

Terdengar suara motor dari depan rumah Rindang. Segera dia keluar dengan pakaian sederhana dan berusaha biasa menyembunyikan lukanya.

“Kau sudah siap Ndang?” tanya Denova sambil menyerahkan helm.

“Iya kak” jawab Rindang singkat.

“Kita mau jalan kemana?” tanya Denova pelan.

“Ke taman saja kak” jawabnya singkat.

“Yasudah yuk naik Ndang” ajak Denova segera menyalakan motornya lagi.

Sepanjang jalan tidak ada percakapan yang terjadi. Rindang cuma diam dan memandang lepas kesekitar. Sementara Denova terlihat diam berkonsentrasi menyetir motor. Langit sore ini terlihat indah. Semburat lembayung senja mempercantik lukisan di atas sana.

Motor terhenti pada sebuah taman. Mereka berdua turun dan berjalan pada sisi taman yang terdapat kursi lalu duduk. Masih terjadi aura kecanggungan dan kebisuan yang kain membeku. Sebelum akhir Rindang berani mulai angkat bicara.

“Kak, ingat tidak? Kita pertama bertemu disini?” suara Rindang memecah kebekuan.

“Hmm, iya benar sekali kita pertama bertemu disini” jawab Denova pelan sambil menyelonjorkan kakinya.

“Aku jadi berpikir kalaupun pertemuan kita itu cuma sebuah kebetulan. Aku berharap jika kita bisa saling mengerti. Walau tanpa harus berujar, tapi pautan hati bisa saling memberitahu dalam hubungan yang kita ikat” kata Rindang pelan sambil merekahkan senyum yang sudah lama menghilang.

“Maaf Ndang” singkat Denova berujar.

“Tidak apa-apa kak. Tahukah kak? Jika kau merasa sakit akupun merasa juga. Hatiku merasa tersayat jika hatimu luka. Jika kau torehkan senyum seketika akupun tersenyum. Aku tidak hanya ingin menjadi seorang dengan status pacar. Namun seorang sahabat yang akan selalu menanyakanmu “what’s wrong? Dan ada untukmu selalu” kata Rindang lagi dan bangkit dari duduknya.

“Aku selalu bermimpi kita bisa saling berbagi. Berbagi suka dan duka. Berbagi kekhawatiran atas apa yang kita rasa bersama. Setiap saat di atas hubungan yang kita buat” Rindang menatap wajah Denova lekat.

“Ndang, bukan maksud aku berbuat seperti itu kepadamu” ujar Denova lemas. Dia tak tahu lagi apa yang harus dikatakan lagi kepada Rindang.

“Sekarang aku tahu kak, jika aku tidak bisa menggeser posisi dia di hatimu. Walau selama ini aku sudah menjadi kekasihmu” Rindang menghela nafas dengan kuat.

” Ndang” Denova semakin merasa bersalah. Namun mulutnya kelu. Dia tak bisa berkata apa-apa lagi.

“Tapi bolehkah aku minta sesuatu dari kakak?” kata Rindang pelan dan mulai duduk lagi di samping Denova.

“Apa ndang? Kalau bisa aku akan turuti permintaanmu” kata Denova sambil menatap Rindang.

“Dapatkah kita selalu bersama. Bisa berbagi kebahagiaan, selayaknya teman. Menghabiskan masa sekolah dengan kenangan mengasikkan. Aku tidak menuntut kakak menjadi pacar atau semacamnya. Cuma ingin aku selalu menjadi temanmu kak” mata Rindang mulai berkaca-kaca.

“Pasti Ndang, aku tidak akan pernah begitu saja meninggalkanmu. Walau bagaimanapun kamu sudah membawa cuilan kebahagiaan di hidupku” kata Denova sambil memegang tangan rindang.

“Masa depan pasti akan jauh lebih sulit kak. Tembok-tembok tinggi dan kokoh akan selalu menjadi sandungan dalam menuju suatu kesuksesan. Disaat itu aku ingin ada kakak, buat tempatku berbagi tangisan dan mendukungku” kata Rindang tak mampu lagi menahan air matanya.

“Ndang kamu tidak apa-apa?” tanya Denova agak bingung melihatnya menangis.

“Aku tidak apa-apa kak. Aku berusaha agar bisa menerima semua keputusan kakak. Aku yakin suatu saat pasti akan ada kebahagiaan lagi” ujar Rindang dalam isaknya.

“Ndang maafkan kakak” Denova mendadak lemas.

“Aku sayang sekali sama kakak” isakan Rindang terdengar sendu dan kian sendu.

Rerintik hujan mendadak turun. Membasahi mereka berdua. Melebur duka dan lelehan air mata. Menyatukan dinginnya hati dengan dinginnya rinai yang membuncah. Berharap duka segera sirna bersama sosok rembulan yang menghias angkasa.

****

Hari ini Denova pulang agak larut malam. Bos tempat dirinya bekerja sudah mencium bakat dia. Tak pelak dia mendapat kepercayaan mengelola salah satu outlet rumah makan sebagai Chef utama. Prestasi yang diimpikan saja belum pernah.

Selepas lulus sekolah menengah atas Denova melanjutkan ke jurusan tata boga. Entah apa yang dia pikirkan. Padahal maminya sudah memaksanya untuk kuliah sama seperti Damian. Siapa tahu dia nanti bisa bekerja seperti Damian. Namun semuanya ditolak Denova. Dia justru mengambil jurusan tataboga dan sekarang sudah menjadi seorang Chef.

“Mi, ini undangan dari siapa?” tanya Denova setelah melihat undangan di atas meja.

“Itu dari Rindang nak, dia mau menikah minggu depan” kata maminya sambil mengantarkan coklat panah kearahnya.

“Syukurlah dia akhirnya mendapatkan pasangan hidup” ujar Denova sambil tersenyum. Ia buka undangan itu, terpampang nama Rindang dan Faridh. Teman sekelas Rindang dulu. Seorang yang sangat baik. Selalu ada disamping Rindang saat dulu berpisah denganku.

“Kamu kapan Den?” tanya maminya menggoda.

“Haha, aku masih belum ingin menikah mi” jawab Denova diplomatis.

“Yasudah sana kamu istirahat dulu” kata maminya dan langsung keluar kamar.

“Bentar mi, kalau itu paket apa?” tanyanya melihat paketan di atas kasurnya.

“Itu dari mas Damian. Kamu buka sendiri apa isinya” Kata Ibu denova langsung berlalu keluar kamar.

Denova membuka bungkusan itu menggunakan cutter. Lalu menumpahkan isinya ke kasur. Keluar sebuah diary dan sepucuk surat. Kemudian dia membaca surat itu.

Den sebelumnya aku minta maaf dulu tidak memberitahumu tentang suatu hal.

Bukankah selama ini kau selalu merindukan Dimitri? Diary itu mungkin akan menjawab semua rasa rindumu.

Damian.

Perlahan Denova membuka diary itu selembar demi selembar.

14 Maret 2003
Hai Den, bagaimana kabarmu? Apa kau sudah lulus SMA? Aku berharap kau lulus dengan baik.

….

12 Agustus 2003
Mendadak malam ini aku teringat saat kita bertemu dihalte. Apa kau masih mengingatku?

31 Desember 2003
Tahun baru disini sangat indah. Bagaimana kau dengan Rindang? Aku harap kalian bahagia.

13 Mei 2005
Hari ini aku masuk Rumah sakit. Aku tidak tahu sakit apa. Tapi kata dokter aku cuma kecapekan saja. Apa kau sehat Den?

30 September 2005
Untuk Kedua kalinya aku harus obname. Untung kakakmu membantuku. Oiya bagaimana kuliahmu? Kudengar kau masuk tata boga. Kapan-kapan buatkan akau menu spesial ya.

4 April 2006
Hari ini aku batuk darah. Entah kenapa. Sepertinya tubuhku semakin lemas. Sebelumnya maaf Den, sepertinya aku merindukanmu.

22 Oktober 2007
Rambutku habis.

11 Januari 2008
Den, apa kau sehat di sana? Disini aku semakin lemah. Entah kenapa setiap aku tertidur selalu terbayang kala itu. Den, sepertinya aku memang sayang kepadamu. Lama aku pendam, namun baru sekarang bisa mengakuinya. Apa kau masih suka denganku?

15 Agustus 2008
Aku sayang kamu.

1 Desember 2008
Aku tak kuat lagi. Aku berharap dikehidupan mendatang aku bisa bertemu denganmu.

Seketika Tubuh Denova lemas. Kalimat terakhir pada diary itu membuatnya lemas dan mengurai air mata. Dia berlari mengambil ponselnya dan segera menelpon Demian.

“Bang, Dimi dimana bang?” katanya langsung dengan ekspresi muka kalut.

“Kamu sudah baca diarynya?” kata Damian pelan.

“Sudah, cepat katakan dimana dia?” tanyanya lagi.

“3 Tahun lalu dia tiada. Tulisan terakhirnya itu, dia tulis sehari sebelum dia mendadak drop dan kritis” kata Damian pelan.

“Bang jangan bercanda bang, aku serius” gertak Denova.

“Aku serius”

“tapi kenapa kau tidak memberi tahu dia sakit?” kata Denova kalut dan mulai berlinang air mata.

“Dimi melarangku. Dia ingin kau bahagia, tidak melihatnya menderita” jelas Damian sambil menghembuskan nafas.

“Tapi kan abang tahu sendiri jika aku sangat menyukainya, merindukannya. Setidaknya detik terakhir aku ada di sisinya” teriak Denova tak tahan.

“Dimi setiap hari memanggil namamu, setiap dia tak tersadar. Saat dia tidur. Bahkan saat dia terapi namamu selalu mendampinginya. Dan selama itu dia melarangku memberitahumu padahal dia menunggumu” jelas Damian.

“Bang aku sangat suka padanya, kenapa kau jahat sekali kepadaku” Denova lemas dalam tangis dan roboh ke kasur.

Dia terdiam menatap rembulan yang terlihat indah. Sesosok wajah cantik tersenyum disana. Senyum simpul yang ia temui kala itu. Senyum seorang gadis jenius yang selalu ditunggunya.

“Dimitri, aku selalu menunggumu, tahukah kau?”

TAMAT

****

Cerita ini diikutkan “Giveaway Suka-suka Dunia Pagi”

Bagi yang ingin membaca episode sebelumnya bisa ke sini