Sore ini rasanya badanku sangat capek. Setelah seharian mengajar dari jam pertama sampai jam terakhir aku tak berhenti mengoceh di depan kelas. Memang sih katanya sekarang guru cuma fasilitator dan siswa lebih aktif. Namun pada kenyataan di lapangan sangat berbeda. Jika siswa kita biarkan tetap tidak akan memahami materi. Dengan terpaksa kembali ke masaku dulu, guru cerewet di depan kelas.

Aku melintas melalui jalanan yang cukup ramai menggunakan sepeda. Beruntung rumah orangtuaku dekat dengan sekolah tempat kerjaku. Jadi aku bisa hemat biaya dan sekaligus sehat. Ya, itung-itung mendukung gerakan go green. Mengurangi hembusan asap-asap kendaraan.

Sore ini aku ingin melaju melewati jalur lain sebelum ke rumah. Memotong dan melewati jalan tikus. Menerobos jalanan dan gang-gang yang sebelumnya tidak pernah aku lalui. Begitu berkelok membuat aku bingung juga. Sebelum akhirnya keluar ke jalan agak besar yang merupakan jalur TPA.

Tumpukan sampah menggunung-gunung tinggi. Baunya tentu saja sangat menyengat sekali. Menyiksa hidungku yang sangat peka dengan bau-bauan. Aku amati beberapa truk kuning pengangkut sampah menurunkan berton-ton benda kotor itu. Benar-benar satang penyakit tempat ini.

Mataku menangkat sosok di sana. Seorang dengan perawakan yang cukup tinggi dan memakai topi sedang mengais-ngais di tumpukan sampah. Aku masih tidak jelas melihatnya dari kejauhan. Terlihat dia berdiri dan menatap rimbunan sampah sambil tersenyum.

Esoknya aku kembali pulang kerja dengan bersepeda. Melewati tempat yang sama seperti kemari. Lagi-lagi aku menangkap sosok itu. Namun kali ini dia melepas topinya. Rambutnya sebahu. Dan baru aku tahu jika dia itu wanita. Dengan baju lusuh dan memakai sepatu booth berwarna hitam.

Aku amati sebentar apa yang ia lakukan. Dia mendaki gunungan sampah sambil mengorek dan mencari sesuatu. Terlihat ia terdiam dan berjongkok. Dia mengambil sebuah buku. Dibersihkannya buku itu bahkan memakai bajunya. Lalu dia masukkan di tas yang menyelempang di sisi tubuhnya. Lalu ia kembali memungut botol plastik dan benda lainnya ke keranjang di punggungnya.

Hari berikutnya aku melihatnya lagi sedang memulung sampah. Dia mendaki gunung sampah di sisi kiri TPA. Aku berhenti sejenak mengamatinya. Sekitar 10menit kemudian dia duduk dan mengambil sesuatu dari tasnya. Ah, dia mengambil buku yang kemarin. Terlihat dia membaca lembar demi lembar.

Aku masih saja mengamatinya. Entah kenapa kok aku merasa ada sesuatu yang beda. Seorang membaca di atas tumpukan sampah. Apa dia bisa nyaman ya? Kulirik jam tanganku, waktu sudah semakin sore. Kuputuskan untuk pulang ke rumah. Segera aku kayuh sepedaku melaju cepat menembus jalanan yang sepi.

Hari demi hari aku terus melewati tempat pembuangan akhir itu. Seperti sudah menjadi kebiasaanku. Pulang kerja langsung bersepeda ke tempat ini dan mengamati dia. Kadang memulung kadang juga membaca. Semuanya aku amati. Aku sampai hafal dengan cara dia berjalan. Ekspresi wajahnya, bahkan senyumnya saat menemukan buru di tumpukan sampah.

Namun sejak itu juga aku belum pernah menyapanya. Cuma suka mengamatinya dari jauh di atas tumpukan sampah. Dia bersama keranjang sampah dan bukunya. Aku bersama sepedaku dan ransel yang aku menempel di punggungku. Begitulah seterusnya.

Sore ini pulangku agak telat. Karena ada beberapa siswa harus remidial test Matematika. Terpaksa sejam aku mengundur kepulanganku hari ini. Begitu semua selesai langsung segera aku genjot sepedaku ke rute pulang favorit aku. Berharap aku masih bisa melihatnya disana.

Namun keberuntungan tak berpihak hari ini. Gunungan sampah itu tak ada dia. Terlihat begitu lengang. Aku sampai mengamati ke kiri dan kanan. Namun sosok itu tak juga nampak. Hanya bau sampah yang kian menyengat sore ini.

“nyari siapa mas?” sapa suara yang sangat mengagetkanku. Langsung aku toleh ke samping.

“oh tidak kok” jawabku kaget mendapati sesorang sudah ada disampingku. Dan dia adalah sosok itu. Sosok yang biasa aku amati dari kejauhan. Sosok yang kadang membuatku tertawa hanya karena melihat ekspresi wajahnya.

“yasudah kalau begitu” jawabnya singkat dan langsung berlalu ke depanku. Kali ini baju yang dikenakan terlihat lebih rapi dan ada aroma harum dari tubuhnya.

“kamu mau kemana?” kuberanikan bertanya kepadanya.

“mau ke sanggar Kartika mas, hari ini aku waktunya mengajar” jawabnya pelan sambil tersenyum.

“wah, guru ya?” tanyaku lagi.

“ah, bukan cuma membantu saja kok, lagian saya cuma lulusan SD mana bisa disebut guru” ujarnya terlihat sangat merendah.

“hmm, boleh aku ikut dan lihat tidak?” tanyaku pelan.

“wah boleh kok mas, ayo ikuti saya” serunya sembari tersenyum dan dan melanjutkan jalannya.

Setelah magrib acara sanggar baru di mulai. Terlihat di ruang yang cukup luas ini ada sekitar 20 an anak duduk rapi sambil membawa buku tulisnya. Terlihat dia sudah berada di depan. Ekspresi wajahnya sungguh terlihat sangat bahagia. Dengan mulai berdoa dia melaksanakan pekerjaannya malam ini, mengajar.

“selamat malam adikku semua” serunya nyaring di depan kelas.

“selamat malam kak” sahut semuanya.

“selamat malam bu guru” ada suara anak laki-laki yang melengkingkan suaranya. Terdengar suaranya sangat dominan. Sehingga aku dapat mendengarny dengan sangat jelas.

“baiklah terima kasih, bagaimana dengan PR yang aku berikan kapan hari?” tanyanya pelan di depan kelas.

“sudah kami kerjakan!” sahut anak-anak mulai ribut.

“yasudah dikumpulkan dahulu ya, nanti ibu lihat, jika ada yang paling bagus. Nanti dibacakan di depan kelas” katanya sambil menulis sesuatu di depan kelas.

Dia menulis deretan angka di depan kelas. Dari 0 sampai 9. Juga beberapa kata-kata di sisi lain papan. Lalu dia berbalik dan tersenyum ke arahku. Dia mengumpulan tugas dari murid-muridnya. Wah senang melihat situasi seperti ini.

“oke sekarang ada yang bisa menyebut satu persatu angka ini tapi pakai bahasa Inggris” serunya menawarkan tantangan.

“aku aku aku bu guru!!” anak yang tadi memanggilnya bu guru begitu semangat.

“ayo Toni coba aku sebutkan satu per satu” mintanya memulai.

“zero, one, two, three, four, five, six, seven, eight, nine” jawabnya dengan lantang.

“bagus, ayo yang lain coba di ulangi” serunya.

“zero, one, two, three, four, five, six, seven, eight, nine,”ulang anak-anak berjamaah.

Sekitar satu setengah jam akhirnya jam belajar sudah selesai. Aku puas melihat anak-anak belajar. Dan senang melihat dia mengajar dengan begitu enjoy dan terlihat berpengalaman. Dari cara menjelaskan dan penguasaan kelas. Mengagumkan.

Sehabis belajar anak-anak dibagikan sebutir telur rebus dan sekotak susu cair. Sambil bercengkerama merekaterlihat begitu menikmati suguhan sederhana ini. Aura bahagia begitu terasa kental disini.

“ini buat mas” sosok yang menjelma jadi bu guru itu memberiku sebutir telur dan juga susu.

“eh tidak usah, buat anak-anak saja” tolakku sungkan.

“masih banyak kok, sudah makan saja, kan mas belum makan dari tadi” paksanya pelan.

“yasudah, aku makan kalau begitu. Oiya kalau boleh tahu namanya siapa?” tanyaku memberanikan diri.

“oh saya Indah, kalau mas?” tanyanya balik.

“aku Nugi, oiya sudah lama mengajar disini? Aku lihat tadi kamu pandai sekali mengajarnya” pujiku kepadanya.

“ah, ndak juga mas. Saya masih belajar” sahutnya sambil terlihat rona merah wajahnya.

“oiya boleh lihat kumpulan puisi dari anak-anak tadi?”

“boleh kok mas, tapi buat apa?” tanyanya lagi.

“pengen baca saja kok” jawabku singkat.

“oke sebentar tak ambilkan dulu” sahutnya langsung berlalu ke meja. Mengambil tumpukan kertas.

“ini mas, oiya masnya kerja dimana?” tanyanya kepadaku sambil menyalami anak-anak yang sudah pamit pulang.

“aku guru di SMA 1” jawabku singkat sambil tersenyum.

“wah jadi aku tadi mengajar di lihat guru sungguhan?” serunya lagi dengan wajah semakin merah.

“ah santai saja, oiya sudah malam. Boleh aku pinjam ini dulu. Sudah malam saya harus pulang dulu” kataku sambil membolak balik lembaran puisi di tanganku.

“iya mas boleh bawa saja dulu” sahutnya.

Seminggu sekali aku jadi sering ke sanggar. Kadang aku membawa kue yang aku bagikan ke anak-anak. Entah kenapa akhir pekanku jadi sangat menyenangkan. Kebosanan mengajar disekolah tergantikan dengan keceriaan anak-anak sanggar yang haus akan pelajaran.

Setiap minggu aku juga menginventaris puisi dari anak-anak. Aku pilih yang terbaik dan aku posting di blog yang memang aku buat dan ku dedikasikan untuk mereka. Ini benar-benar membuat hidupku tambah berwarna.

Bu guru Indah juga semakin luwes mengajarkan anak-anak materi hitung dan baca. Kadang aku merekam kegiatan mereka belajar dan aku upload di youtube. Seharusnya suasana kebersamaan dan semangat belajar ini tak hanya aku saja yang menikmati.

Malam itu sembari mengupade blog aku mendapatkan ide yang rasa menarik. Aku ingin menghadiahi anak-anak sebuah buku yang isinya puisi yang mereka tulis sejak aku berkunjung kesana.

Aku pilah lagi file file pada laptopku yang isinysa dokumentasi puisi anak-anak sanggar. Aku ambil sekitar 50 puisi. Termasuk yang di buat Indah dan aku. Aku susun sebagus mungkin. Agar terlihat rapi dan indah.

Setelah semingguan mengedit akhirnya jadi juga antologi puisi ini. Namun kira-kira siapa ya yang mau menerbitkan? Aku mengirim ke beberapa penerbit namun juga belum ada tanggapan. Sepertinya naskah di tolak. Aku sempat putus asa mencari sponsor yang mau menerbitkan karya anak sanggar.

– ada yang berminat menerbitkan antologi karya anak sanggar?- ku tulis ini pada status salah satu jejaring sosialku.

Setelah itu aku tinggalkan laptopku dan bernajak tidur. Aku lelah hari ini. Ingin rasanya mengistirahatkan sejenak ragaku dan melayang ke alam mimpi yang indah. Dan akupun tertidur dengan lelap.

Drrrtt drrrt

Ponselku bergetar dengan keras. Aku sampai terbangun dan segera mengambil benda yang membuatku sadar dari mimpi yang belum selesi. Terlihat ada panggilan yang belum aku kenal nomornya. Segera aku angkat.

“iya halo, ini siapa?” tanyaku singkat memulai pembicaraan.

“saya Miko, dan saya tertarik dengan status di akun anda. Bolehkah saya dikirimi email yang isinya puisi itu? Jawabnya to the point.

“oh boleh mas, sebentar saya kirim dulu”jawabku langsung berjalan ke arah laptop.

“nanti setelah baca saya kabari ya mas, jika menarik akan diterbitkan tanpa biaya. Soalnya kami ini LSM yang peduli tentang pendidikan.” sahutnya menjelaskan.

Sekitar sebulan belum juga ada kabar tentang naskah antologi. Yasudahlah mungkin nanti ada saatnya aku memberikan hadiah kepada mereka semuanya.

Sekarang aku setiap seminggu sekali membantu mengajar Indah di sanggar. Aku mengajar matematika, dia mengajar baca tulisnya. Semua berjalan dengan sangat lancar. Bahkan murid kita bertambah menjadi sekitar 30 anak. Itu adalah anugerah terindah sebagai seorang pengajar.

Aku juga semakin nyaman dengan Indah. Perasaanku kepadanya mungkin tak lagi sebagai teman. Namun juga… Entahlah, yang jelas aku nikmati siklus yang sedang aku selami ini. Karena aku berasa begitu punya arti hidup dan bahagia.

Indah masihlah sama. Setiap hari dia mengais rizki di tumpukan sampah yang kian hari kian menggunung. Serta terus berburu harta karun di rerimbun sampah yang kadang mulai membusuk.

Setiap hari aku masih mengamatinya. Namun kita selalu bertegur sapa saat dia membawa kernjang dipunggung dan aku membawa ransel di punggung. Benar-benar tak ada beda aku dan dia. Karena kita adalah sama-sama guru. Kenyataan yang tidak bisa ditolak.

drrrrt drrrt..

“iya halo?” aku angkat teleponku.

“ini saya yang kapan itu mas, saya mau mengabari jika ada donatur yang mau memberi dana penerbitan antologi milik sanggar yang anda kelola” sahutnya penuh semangat.

“benarkah mas? Apa saya tidak salah dengar?” kagetku memastikan.

“tidak mas, oiya nanti saya minta alamat lengkap anda ya” sahutnya pelan.

“pasti mas pasti”

Dua minggu setelah itu rumahku mendapat kiriman buku. Luar biasa ada sekitar 50 buku. Begitu membuka rasanya aku ingin menangis saja. Anak-anak akan mendapatkan buku yang isinya tulisan mereka.

Besoknya aku langsung ke sanggar duluan. Sengaja ku lakukan untuk memberikan mereka kejutan ini. Aku menumpuk buku di meja tempat mengajar dan duduk di kursi.

Anak-anak mulai datang satu persatu. Mereka bersalaman kepadaku semua. Termasuk Indah juga sudah datang. Langsung aku buka kelasnya.

“oke Viko coba maju, tolong bacakan ini dengan lantang” kataku kepada anak paling vocal di kelas. Terlihat dia maju ke kelas dan mulai membaca.

untuk yang tersayang ibu guruku Indah,
terima kasih bu,
sudah mau mengajari aku dan teman belajar di sini.
Saya sangat senang di ajari membaca dan menulis.
Aku ingin selalu menjadi muridmu bu,
kelak jika sudah dewasa aku juga akan menjadi sepertimu.
Bu guru Indah,
Terima Kasih

-viko-

viko membacakan suratnya yang sengaja aku suruh buat dan aku taruh di bagian pengantar antologi ini. Terlihat Indah begitu berkaca-kaca mendengar surat pendek dari anak yang sangat menghargainya sebagai guru. Guru yang paling ia sayang dan menjadi panutannya.

Berlanjut beberapa anak aku suruh baca puisinya. Sekitar 5 anak aku suruh baca karya terbaiknya. Begitu bagus cara mereka menyampaikan puisi. Polos namun sangat dihayati. Aku sampai terpaku melihat mereka.

Yang terakhir aku sendiri yang membaca dari satu karyaku di bagian akhir tulisan anak-anak.

Tumpukan Sampah

aku melihat berkas cahaya di tumpukan sampah itu,

begitu putih dan menyilaukan pandanganku,

aku menangkap siluet semangat di gunungan sampah itu,

begitu hangat menyentuh hatiku,

aku membau keikhlasan dari busuknya bau sampah itu,

begitu besar besar dan besar melelehkan ruang pikirku.

aku melihat seorang guru duduk di atas sampah itu,

begitu membuatku terpaku dan memilu.

Aku melihatmu,
sosok Indah itu

kusudahi puisisku dan berjalan ke arahnya. Aku serahkan buku yang aku baca ke arahnya.

“ini hadiah buat bu guru terhebat” kataku pelan.

“terima kasih” jawabnya pelan. Lelehan air matanya tak bisa terbendung. Ia terisak sambil membawa buku yang ku berikan.

“Bu guru, sepertinya hatiku telah kau luluhkan” bisikku pelan kepadanya. Diangkatnya kepalanya dan tersenyum kepadaku.

“pak gurulah yang membuatku jatuh hati kepadamu” senyumnya manis dengan muka merah.

“maukah jadi bu guruku selamanya?” tanyaku kepadanya.